Kamis, 23 Februari 2012

Who Am I ???

Berniat, dan Mewujudkannya

Brakkkk… !!!
Dessshh…!!!
Jrekkkk…!!!

Kecelakaan beruntun tiga tahun yang lalu masih melekat jelas di benakku hingga kini. Tiga tahun bukan waktu yang singkat, namun bilangan waktu yang masih jauh dari cukup untuk menghapuskan kengerianku akan tragedi itu. Meninggalkan bekas luka mendalam dalam hati keluargaku. Bapa’ ku kecelakaan hari itu. Truk yang Bapa’ ku kendarai ditabrak teronton, lalu terdorong hingga menabrak bis besar dan sebuah mobil di depan bis itu. Truk yang Bapa’ ku bawa hanya 125PS, ditabrak teronton tentulah bagian belakang truk rusak, yahh..lumayan parah. Bagian depan truk pun mengalami kerusakan yang tidak ringan, bis besar itu tak seempuk semak-semak rumput gajah yang tak akan mengakibatkan bekas berarti tatkala sebuah truk menabraknya. Walhasil, truk yang dikendarai Bapa’ ku rusak parah depan-belakang. Lantas, Bapa’ ku? Berdarah pasti, luka ringan kata beliau sih, padahal ya ndak ringan juga. Kaki retak di pergelangan kaki dan lutut serta cedera di bagian tangan. Efeknya, Bapa’ ku beberapa bulan ndak dapat beraktifitas seperti biasa. Ndak kerja. Truk butuh biaya perbaikan berjuta-juta. Bak dan beberapa bagian harus diganti dan mendapat perhatian yang serius. Merambah ke wilayah hati, saya mengalami trauma tiap kali melihat kecelakaan kendaraan bermotor, hingga sekarang ketika saya telah duduk di bangku kuliah semester empat Jurusan Teknik Geodesi UGM.

            Kondisiku disekolah awalnya baik-baik saja, biasa…seperti siswa-siswi lainnya. Bayar tepat waktu, baju rapih, uang saku pun ada dua hingga tiga ribu diluar biaya ngebis. Pasca Bapa’ ku kecelakaan, uang sekolah nunggak, baju diseterika hanya jika kalau sempat disela-sela ngopeni adik perempuan saya yang masih balita, uang saku yang penting ada buat bayar bis. Huuuuffft… hampir putus asa, hampir memutuskan untuk berhenti sekolah saja. Hingga akhirnya, saya yang merupakan salah satu makhluk golongan sibuk di ROHIS, PRAMUKA dan PMR menjadi menarik bagi guru-guru yang notabene mengenal saya, selain di organisasi pun mereka mengenal saya sebagai salah satu siswa yang aktif di kelas. Terutama guru BK. Singkatnya, Guru BK memanggil saya setelah mendengar saya akan keluar sekolah, beberapa sahabat dekat saya yang menyampaikan pada beliau dan memintakan solusi. Dalam pertemuan singkat dengan beliau, saya terpaksa menceritakan semua yang saya alami hingga akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari sekolah. Yeeee…ndak jadi keluar sekolah, karena setelah di tela’ah nilai rapotku masuk kriteria untuk diajukan mendapatkan beasiswa. Sejak itu hingga selesai SMA beasiswa menjadi andalan bayar biaya sekolah, sementara orang tua masih harus bergelut dengan hutang sana-sini.

            Mendekati musim UAN kala itu, di tengah kesibukan les, pelajaran tambahan, masih sempat terbesit pikiran untuk kuliah. Memang sejak kecil saya sangat ingin kuliah, betapa tidak, Bapa’ dan Mama’ saya hanya lulusan SD. Kakek dan Nenek saya malah ndak sempat sekolah. Terlebih Buyut saya, tak mengenal apa itu namanya sekolah.

            Salah satu yang menjadi motivasi saya adalah perkataan Mama’ semenjak saya SD.
            “Pokokke, ko kudu sekolah sing duwur, aja kaya Bapa’ karo Mama’ kur SD tok, gampang dilombo wong (dalam bahasa Indonesia : Pokoknya, kamu harus sekolah yang tinggi, jangan seperti Bapa’ dan Mama’ yang Cuma SD saja, gampang ditipu orang)” Kata Mama’ dulu. Memang orang tua saya, beberapa kali sempat kena tipu, kurangnya pemahaman akan prosedur pembuatan perjanjian ‘hitam di atas putih’ mengakibatkan berjuta uang pindah tangan hingga tumpukkan hutang pun jatuh ke pangkuan keluargaku.

            Setelah kecelakaan itu, yang keluar dari mulut Mama’ tinggalah ucapan pesimis dan pasrah saja pada takdir yang beliau yakini tak akan berubah meski seberapa kuat pun usaha kami. Yahh, memang satu tahunan kami berusaha mati-matian ngirit sana-usaha sini, tapi malah hanya menambah nominal hutang keluarga.
           
            “Kuliah-kuliah, arep kuliah nganggo apa Lan, kuliah kiye butuh duwit akeh, dewek kiye ora duwe duwit, utange dewek kiye akeh. Mbok ya mikir sepetit, anakke wong ora duwe. Bisa lulus SMA ben wis sukur Lan…(dalam bahasa Indonesia : Kuliah-kuliah, mau kuliah pake apa Lan, kuliah itu butuh uang banyak, kita itu tidak punya uang, utang kita itu banyak. Mikir sedikit, anaknya orang nggak punya. Dapat lulus SMA saja sudah beruntung Lan)” itu yang kini keluar dari mulut beliau. Saya tahu, hati beliau pasti sangat sakit tak dapat mendukung keinginan anak pertamanya ini. Sengilu hati saya yang merasa menyesal memiliki cita-cita untuk kuliah, niat untuk kuliah, namun yang ada di depan mata ialah kenyataan bahwa saya dapat dipastikan ndak akan kuliah karena tidak ada biaya. Berkali-kali saya mendengar jawaban yang sama ketika saya kembali mengatakan ingin kuliah. Air mata pastilah ada, mewarnai hari-hari perjuangan menghadapi UAN dan menghadapi kenyataan bahwa saya ndak akan kuliah. Tapi niat saya tetap saya biarkan tumbuh semakin subur dalam hati saya, saya bertekad, saya harus kuliah.

            BK adalah tempat favorit siswa kelas 3 berkumpul. BK terletak di sebelah Mushola. Setelah sholat Dhuha, kebanyakan siswa-siswa kelas 3 menyempatkan diri untuk mampir ke BK sekedar up date info PTN, sisanya pulang ke kelas atau sekedar nongkrong di kantin dan area pepohonan yang rimbun di pojokan sekolah. Saya termasuk golongan yang rajin ke BK, karena yang saya pikirkan saat itu ialah siapa tahu ada kesempatan bagi saya masuk PTN tanpa uang yang terlalu banyak, bahkan jika mungkin tanpa uang sama sekali. Akhirnya saya mendapatkan informasi masuk UGM (Universitas Gadjah Mada) melalui program PBUTM (Penelusuran Bibit Unggul Tidak Mampu). UGM merupakan Universitas yang sangat terkenal di kalangan siswa SMA, namun program PBUTM yang diusungnya merupakan sebuah kesempatan emas bagi saya masuk kuliah. PBUTM merupakan suatu program masuk UGM yang menjanjikan gratis biaya kuliah selama 4 tahun bagi siapa saja yang lolos seleksinya. Saya ingin masuk kuliah, jadi saya ndak boleh menyianyiakan peluang ini.

            Ternyata tak hanya saya, beberapa yang lainnya pun ingin masuk UGM melalui program ini. Tak jauh beda dengan saya, mereka pun memiliki kesulitan keuangan, dengan latar belakang berbeda-beda tentunya. Ya, adilnya adalah dengan seleksi, seleksi prestasi akademik dan sebagainya. Dua yang terbaik akan diijinkan mengajukan diri mengikuti seleksi program PBUTM, saya salah satu diantaranya. PBUTM memang program yang hanya menyediakan dua kursi seleksi bagi masing-masing sekolah, hanya dua, dalam nerkas PBUTM yang saya baca,’jika satu sekolah mengirimkan lebih dari dua orang peserta seleksi PBUTM maka sekolah tersebut secara otomatis akan gugur dari proses seleksi’. Saya beruntung menjadi salah satunya, karena hari-hari setelahnya pun saya masih belum ada uang, bahkan untuk sekedar membeli formulir pendaftaran ke PTN manapun yang pada waktu itu harganya pasti lebih dari Rp 150.000,00. Pendaftaran ke UGM melalui jalur PBUTM gratis, seleksi di lakukan dengan mengirimkan berkas persyaratan seperti fotokopi raport semester 1-5 yang telah di legalisir, surat keterangan tidak mapu, dan seperangkat berkas pendukungnya.

            Tanggal 13 Maret 2010, pengumuman seleksi masuk UGM jalur PBUTM. Sendirian, saya ke warnet depan sekolah, langsung saya buka, memasukkan pin pendaftaran, dan SELAMAT, LANI’AH diterima di Fakultas TEKNIK Jurusan Geodesi UGM (kurang lebih demikian). Saya bingung mau bagaimana, sujud syukur, lalu kembali ke sekolah menemui guru BK. Begitu tahu, beliau langsung memeluk saya, beliau menitikkan air mata, sungguh gembira karena salah satu siswa bimbingannya lolos masuk PTN, berkualitas, tanpa biaya pula.

            Sedikit cerita terkait PBUTM, saya tidak mendapat restu orang tua dalam mengikuti seleksi ini. Orang tua saya khawatir, ketika saya mengikuti seleksi ini dan memiliki harapan yang tinggi akan diterima dan masuk UGM, sedangkan nantinya saya tidak diterima maka saya akan stress, kecewa. Orang tua, selalu berusaha menjaga anaknya, berharap anaknya takkan terluka sedikit pun. Setelah diterima, saya pulang ke rumah, mengabarkan pada keluarha. Saya bilang ke Mama’, “Ma’, nyong ketrima neng UGM, nyong kuliah (dalam bahasa Indonesia : Ma’, saya diterima di UGM, saya kuliah)”. Tanpa saya perkirakan sebelumnya, beliau yang sedang menyapu halaman tetap melanjutkan menyapu sembari menjawab “lah nek wis ketrima tapi ora nana duwit nggo maring nganahe sih kepriwe. Ya pada baen ora bias kuliah mbok Lan. UGM mbok neng Jogja, adoh, akeh juga butuh duwite.(dalam bahasa Indonesia : kalau sudah keterima tapi ndak ada uang untuk kesananya terus bagaimana. Ya sama saja ndak bias kuliah kan Lan. UGM kan di Jogja, jauh, banyak juga butuh uangnya).

            Jlepp… hatiku hancur berkeping-keping. Semangat kuliahku, lagi-lagi bak tertiup kincir helicopter. Air mata kembali mengucur deras di pipiku, tak tertahan lagi, perih rasanya hati ini. Satu yang saya yakini, orang tua saya, seperti apapun yang mereka katakana, mereka tetap sepenuh hati mendukung saya kuliah, saya yakin itu. Dan benar saja, 2 bulan setelah itu, saya mendapat kabar bahwa ternyata mahasiswa baru UGM haruslah melakukan daftar ulang di gedung GSP (Graha Sabha Pramana), tepat seminggu pasca pengumuman. Saya melewatkannya. Saya panik, saya telepon pihak UGM, lantas saya diarahkan untuk langsung ke rektorat UGM. Saya langsung berangkat ke Jogja, tanpa tahu dimana itu Jogja, Bagaiman Jogja dan bagaimana saya dapat menemukan UGM serta menyusulkan daftar ulang saya yang telah terlewat. Orang tua saya ternyata ikut kalang kabut, meminjam uang dari tetangga untuk biaya saya kejogja, itulah mengapa saya katakana mereka sangat mendukung saya kuliah meski tak menunjukkannya. Telat Pra registrasi 2 bulan, bukan suatu hal yang sepele. 2 bulan bukan waktu yang singkat. Saya ingat, kala itu saya duduk di kursi dalam ruangan kecil di kantor rektorat UGM. Saya dimarahi, dianggap tidak serius mau mauk kuliah. Saya kembali menangis, mungkin memang karena saya cengeng, tapi hari itu seolah-olah kesempatan saya untuk kuliah telah berlari menjauh. Setelah diceramahi, diberikan nasihat, dan macam-macam sebagainya, saya disetujui untuk tetap menjadi mahasiswa baru UGM angkatan 2010. Padahal ketika itu status saya adalah mengundurkan diri, karena tidak melakukan pra registrasi sesuai prosedur yang berlaku. Sungguh beruntung. Disinilah, saya mengawali kenalan dengan UGM. Dalam moment yang tidak diharapkan oleh siapapun, terlebih siswa SMA yang masih belum mendapatkan ijazahnya.
            Urusan status sebagai mahasiswa baru UGM angkatan 2010, fix beres.
Semenjak pengumuman diterima di UGM, saya bingung bias kuliah di Jogja bagaimana. Bahkan sekedar untuk DP kost saja sepertinya keluarga say tak mampu. Saya bingung, hanya bisa pasrah, berdo’a dan tetap berikhtiar up date info di BK.
            Ada pengumuman beasiswa yang menjamin tempat tinggal berupa asrama, uang saku serta fasilitas berupa pembinaan. Ditambah dengan jaminan biaya kuliah setahun Full dan penggantian biaya masuk kuliah. Tak ada alas an untuk menyia-nyiakan beasiswa ini. Selanjutnya beasiswa ini saya kenal dengan BEASTUDI ETOS. Etos tersebar di berbagai wilayah pada sejumlan PTN di Indonesia. Yang terpenting, ada pula di Jogjakarta untuk mahasiswa UGM. Masih ada 3 hari sebelum deadline pengiriman berkas persyaratan pendaftaran ETOS. Di hari ke-3, semua persyaratan telah lengkap, namun hari itu sudah sore. Hampir saya mengurungkan niat untuk mengirimkannya, hingga seorang teman mengabarkan bahwa kantor pos pusat di Purwokerto masih buka. Jadilah saya mengirimkan berkas pendaftaran itu.

            Hari terus terlampaui dengan perasaan tak menentu.
            Pengumuman tiba, Seleksi berkas, saya LOLOS.
            Lanjut ke seleksi tulis dan wawancara, di adakan di Jogja. Saya bingung, ndak ada uang untuk kesana. Akhirnya orang tua kembali meminjam uang, kali ini ke saudara. Mama’ mengantarkan saya ke Jogja, adik saya dititipkan ditempat saudara. Dua hari di Jogja, Seleksi tulis dan wawancara terlewati dengan tidak terlalu buruk. Yah..paling tidak semoga ada harapan. Dan benar saja, Alhamdulillah saya LOLOS tes tulis dan wawancara. Hingga yang terakhir adalah home visit. Belum ada pengumuman setelah home visit itu. Hari semakin dekat dengan awal masuk kuliah, dimulai dengan PPSMB (Proses Pembelajaran Sukses Mahasiswa Baru) di kampus Teknik. Mendekati ujung hari keberangkatan, dan masih belum ada uang, saya dipanggil pihak sekolahan. Ternyata saya mendapatkan bantuan untuk awal kuliah sebesar Rp 1.000.000,00. Tak terhitung rasa terimakasih saya kepada sekolahan itu. Sungguh, terimakasih. Dengan uang itu saya dapat menyewa kos yang sebulannya Rp 150.000,00. Memang rada sempit, tapi tak mengapa, masih terasa besar bagi badan saya yang tidak terlampau besar ini. Dua minggu saya tinggal di kos itu, hingga akhirnya Etos mengeluarkan pengumuman Final. Dan saya LOLOS seleksi BEASTUDI ETOS, selanjutnya disebut dengan Etoser Jogja. Saya menandatangani akad dan langsung pindahan ke asrama, pertama kali membuka gerbang pembaruan. Gerbang yang menghubungkan dengan kawah Candradimuka selama 3 tahun kedepan. Etos, menyelamatkanku. Terimakasih, para penderma, para pemberi zakat. Saya salah satu penerima manfaat dana zakat dari seluruh penjuru negeri, sejak hari penandatanganan akad itu, saya telah memutuskan bahwa suatu saat saya harus menjadi pemberi manfaat terhadap ummat. Suatu saat nanti, pasti.
                                                                                                    Oleh Lani’ah
                                                                                                (Etoser Jogja 2010)

1 komentar:

  1. terharu sy baca tulisan ini :') . mbak, boleh sy minta alamat emailmu?

    BalasHapus